Ad Code

Responsive Advertisement

Evaluasi Pelaksanaan Fogging Dalam Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di Kota Denpasar

Gede Suarta; Retna Siwi Fadmawati; Lutfan Lazuardi

berkembang biak di kebun atau semak-semak. Kedua jenis nyamuk tersebut berpontensi menularkan penyakit demam berdarah. Jumlah kasus DBD pada tahun 2005 terus mengalami peningkatan sehingga
tahun 2007 jumlah kasus sebanyak 6.346 orang.2
Daerah Kota Denpasar mempunyai kasus DBD paling tinggi diantara daerah kabupaten lainnya. Jumlah
kasus dari tahun 2004 sampai dengan 2007 cenderung meningkat, dengan jumlah kematian paling tinggi
terjadi pada tahun 2006 sebanyak 22 orang (CFR:0,73%) dan Incidence rate (IR) : 505,1 per 100.000
penduduk. Hal tersebut disebabkan karena mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tak terkendali,
perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor, infrastruktur penyediaan air bersih
yang tidak memadai serta kurangnya peran masyarakat dalam pengendalian DBD.3
Berbagai upaya pemberantasan yang telah dilakukan sebelumnya, seperti pencegahan dengan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemeriksanaan jentik berkala (PJB) dan abatisasi, pengamatan
penyakit dan penyelidikan epidemiologi, penemuan dan petolongan serta melaksanakan kegiatan fogging.
Pemerintah Kota Denpasar tidak mampu mengendalikan peningkatan kasus DBD sehingga pemerintah
mengeluarkan kebijakan nomor : 445 tahun 2006 dengan memberikan mesin fogging kepada 364 banjar.
Tujuan pemberian mesin fogging sebagai upaya untuk mencegah penyakit DBD dengan melakukan
kegiatan fogging fokus yang dilakukan oleh banjar.
Petugas banjar dalam melaksanakan fogging fokus telah diberikan pelatihan secara teknis dari Dinas
Kesehatan Kota dan perusahaan mesin fogging. Diharapkan petugas banjar dalam melaksanakan
kegiatannya, mengacu pada petunjuk teknis penyemprotan/pengasapan sehingga kegiatan yang
dilakukan tepat sasaran. Jenis bahan insektisida yang digunakan untuk fogging adalah golongan Pyrethroid
sintetic seperti fendona, yang langsung pengawasannya dilakukan oleh petugas puskesmas.
Kegiatan fogging bukanlah satu-satunya cara untuk menurunkan kasus DBD, karena dengan fogging yang
mati hanya nyamuk dewasa. Selama jentiknya tidak dibasmi, setiap hari akan muncul nyamuk baru yang
menetas dari tempat perkembangbiakannya. Oleh karena itu penanggulangan kasus DBD perlu
dilakukan secara terpadu terutama pemberantasan jentiknya dengan PSN. 4
Kegiatan pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar dengan melakukan
PSN, PJB, abatisasi dan kegiatan fogging untuk menanggulangi kasus DBD, ternyata hasilnya belum
mampu untuk menekan kasus DBD dengan jumlah kasus setiap tahun terus mengalami peningkatan.
Kemudian dalam pelaksanaan kegiatan fogging yang dilakukan oleh tenaga banjar belum pernah dilakukan
evaluasi.
Evaluasi sebuah program sangat penting dilakukan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan program,
mendeteksi dan memecahkan masalah, melihat keefektifannya, efisiensi program, mengarahkan alokasi
sumber daya dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk merevisi kebijakan. Untuk
mengevaluasi program tersebut digunakan pendekatan sistem input, proses dan output dimana ketiganya
saling berkaitan .5

METODE DAN SUBJEK PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan metode kualitatif. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah Rapid Assessment Procedures (RAP). Dengan rancangan ini akan
diperoleh informasi yang terfokus, tepat waktu dan hasilnya dapat dipercaya. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam (Indepth Interview) dengan pertimbangan peneliti ingin menggali
informasi sebanyak-banyaknya dari informan terkait dengan tujuan penelitian. Untuk keperluan
triangulasi peneliti juga melakukan pengumpulan data dengan diskusi kelompok terarah (DKT) dan
studi dokumentasi. 6
Subyek penelitian berasal dari petugas fogging, petugas kesehatan dan tokoh masyarakat. Informan dari
petugas fogging yang dipilih sebagai sampel diambil secara purposive sampling dengan pendekatan maximum
variation sampling yaitu memilih dari variasi fenomena yang beragam. Keragaman fenomena dilihat dari
puskesmas yang memiliki penderita DBD tertinggi dan puskesmas penderita DBD terendah
berdasarkan data kasus tahun 2007. Subjek penelitian berjumlah 34 informan dengan rincian petugas
fogging sebanyak 12 informan, petugas kesehatan enam informan dan tokoh masyarakat yaitu klian banjar
sebanyak 16 informan.
Analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Data dari informan direduksi menjadi
informasi yang bermakna dengan melakukan coding 7 Analisis data akhir menggunakan analisis tema yaitu
data yang didapat dari informan dikelompokkan ke dalam suatu tema. 8
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Input Kegiatan Fogging
Ketersediaan dana untuk mendukung kegiatan pelaksanaan program fogging fokus seperti disampaikan
informan bahwa alokasi biaya untuk kegiatan fogging hanya diberikan empat fokus per desa/kelurahan
sesuai kebijakan Dinas Kesehatan Kota masih dianggap kurang, terutama pada puskesmas yang
memiliki kasus DBD tinggi. Dinas Kesehatan Kota Denpasar hanya menyediakan dana sebesar 16,8%
untuk kegiatan fogging dari jumlah dana program DBD.
Kegiatan fogging yang bersumber dari swadaya masyarakat juga masih sangat kurang, seperti disampaikan
oleh informan untuk biaya kegiatan fogging fokus bila ada kasus di wilayahnya hanya dilakukan sekali
karena keterbatasan biaya pada banjar dan desa. Dengan keterbatasan biaya pada pemerintah dan
masyarakat menyebabkan kegiatan program DBD, khususnya kegiatan fogging fokus menjadi kurang
optimal sehingga kasus DBD di wilayah Kota Denpasar terus mengalami peningkatan dan
penyebarannya semakin meluas.
Sumber daya manusia (SDM) yang ada khususnya tenaga pengawas yang ada di puskesmas masih
terbatas terutama pemegang program masih mempunyai tugas rangkap. Dengan keterbatasan tenaga
yang ada menyebabkan pengawasan kegiatan fogging fokus menjadi kurang optimal. Dengan kekurangan
tenaga tersebut diperlukan penambahan tenaga melalui usulan rencana kebutuhan tenaga puskesmas
kepada dinas kesehatan Kota Denpasar. Penambahan tenaga yang diperlukan berdasarkan jenis dan
klasifikasi pendidikan diharapakan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dengan lebih baik terutama
pada pelaksanaan kegiatan fogging fokus.
Kemudian sebagai pemegang program DBD yang merupakan tenaga pengawas terhadap pelaksanaan
fogging fokus belum pernah diberikan pelatihan. Sebagai upaya untuk peningkatan sumber daya manusia
dalam melaksanakan kegiatan fogging sangat diperlukan adanya pelatihan mengenai teknis fogging. Dengan
pendekatan edukatif akan dapat memacu perkembangan potensi untuk meningkatkan ketrampilan
dalam pelaksanaan fogging fokus. 9
Pengembangan sumber daya manusia terhadap tenaga nonkesehatan seperti tenaga petugas fogging,
belum semuanya mendapatkan pelatihan. Hal ini akan berdampak pada keberhasilan program secara
keseluruhan. Selama ini pelatihan sumber daya manusia kesehatan dalam rangka meningkatkan
profesionalismenya masih belum tertata dengan baik, serta belum memiliki daya ungkit yang bermakna
terhadap peningkatan kinerja individu maupun organisasi. 10
kurang, terutama pada puskesmas yang memiliki kasus DBD tinggi. Dengan keterbatasan fogging fokus
yang diberikan menyebabkan kegiatan penanggulangan DBD menjadi kurang optimal.
Pelaksanaan program DBD dengan melibatkan masyarakat dalam pemberantasan dan penanggulangan
penyakit demam berdarah yang melibatkan tenaga banjar sebagai pelaksana fogging fokus, dalam
pelaksanaannya belum berjalan sesuai dengan pedoman yang ada. Hal tersebut terjadi pada pelaksanaan
fogging fokus tidak semua rumah disemprot, karena sebagian masyarakat masih ada yang rumahnya
tertutup sehingga penyemprotannya hanya dilakukan di luar saja. Semestinya pelaksanaan fogging
dilakukan di seluruh area mulai dari dalam rumah yang paling belakang kemudian di luar rumah dan bila
rumahnya bertingkat dimulai dari lantai atas. 11
Jumlah tenaga maupun mesin fogging yang digunakan pada puskesmas dengan kasus tinggi masih kurang,
hanya menggunakan satu mesin dan dua orang tenaga foging. Sedangkan pada puskesmas dengan kasus
rendah menggunakan tiga mesin dengan enam orang tenaga fogging. Berdasarkan pada rencana kegiatan
semestinya menggunakan empat mesin dengan delapan orang tenaga fogging. Hal ini disebabkan
kurangnya koordinasi antara Banjar dengan Banjar lainnya dalam penggunaan mesin fogging. Kurangnya
sarana yang digunakan menyebabkan hasil kegiatan fogging fokus menjadi kurang efektif.
Penggunaan bahan-bahan insektisida yang dicampur dengan bahan pelarut minyak solar, ternyata hasil
dari pencampuran yang dilakukan petugas fogging belum sesuai dengan petunjuk atau pedoman. Hal
tersebut terjadi pada wilayah puskesmas kasus tinggi dengan perbandingan 15 liter solar berbanding 1
gelas Aqua, dilakukan dua siklus dengan interval 11 hari. Sesuai pedoman perbandingan antara bahan
insektisida dengan bahan pelarut yaitu 40 liter minyak solar berbanding 200 ml obat (fendona),
penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval satu minggu. Dengan campuran yang tidak sesuai
pedoman dan silkus penyemprotan waktunya lama tentu akan menyebabkan hasil penyemprotan
menjadi kurang efektif.
Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus DBD, berdasarkan hasil dokumentasi beberapa
kasus DBD mulai laporan diterima di puskesmas sampai pada tindakan pelaksanaan fogging fokus
membutuhkan waktu sampai enam hari. Sedangkan dalam pedoman dari laporan diterima sampai
tindakan penyelidikan epidemiologi dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam. Hal ini sudah sangat terlambat
penanganannya dan sudah terjadi penyebaran kasus demam berdarah.
Pelaksanaan pemantauan atau pengawasan terhadap kegiatan fogging fokus belum dilakukan dengan
optimal. Hal tersebut disebabkan proses pengawasan untuk tidak lanjut memperbaiki penyimpangan
yang terjadi belum berjalan dengan baik seperti pada pencampuran obat yang belum sesuai dengan
pedoman. Dengan meningkatkan pengawasan oleh petugas puskesmas, desa/kelurahan serta banjar,
maka kesenjangan atau penyimpangan yang terjadi dapat diketahui sedini mungkin. Apabila kesenjangan
telah terjadi maka diperlukan solusi untuk ke arah perbaikan serta dilakukan tindak lanjut untuk
mencapai tujuan program.
3. Hasil Kegiatan
Hasil kegiatan program DBD pada wilayah puskesmas kasus tinggi dalam dua tahun terakhir, jumlah
kasus DBD tahun 2006 sebanyak 261 orang meninggal dua orang (CFR:0,8%). Dibandingkan tahun
2007 terjadi peningkatan jumlah kasus 731 orang, meninggal dua orang (CFR: 0,3%). Apabila
dibandingkan dengan target CFR masih dibawah 0,1%. Sedangkan inciden rate (IR) tahun 2007 mencapai
220/100.000 penduduk dan belum mencapai target dari yang ditetapkan sebesar 70/100.000 penduduk.
Hasil dari kegiatan pemeriksaan jentik berkala dengan indikator angka bebas jentik (ABJ) hasilnya tahun
2007 mencapai 89,8% dan belum mencapai target > 95%.
Pencapaian hasil kegiatan Program DBD pada wilayah puskesmas kasus rendah, dalam dua tahun
terakhir justru terjadi penurunan kasus dari tahun 2006 jumlah kasus 310 orang meninggal satu orang (CFR: 0,32%), tahun 2007 jumlah 143 kasus meninggal satu orang (CFR:0,003%), dibandingkan dengan
target CFR masih dibawah 0,1%. Sedangkan inciden rate (IR) tahun 2007 mencapai IR: 234,7/100.000
penduduk, dari hasilnya belum mencapai target 70/100.000 penduduk. Hasil kegiatan PJB pada tahun
2007 mencapai 95,4% dan hasilnya ini telah mencapai target.
Pada Dinas Kesehatan Kota Denpasar hasil program DBD pada tahun 2006 jumlah kasus sebanyak
3017 orang dengan CFR : 0,72%, hal ini terjadi peningkatan kasus pada tahun 2007 sebanyak 3264
orang dengan CFR : 0,31%. Walaupun dari indikator CFR terjadi penurunan dan masih dibawah target
0,1%, tetapi dari angka kesakitan atau inciden rate terjadi peningkatan dari 505,1/100.000 penduduk
menjadi 536,3/100.000 penduduk tahun 2007. Bila dibandingkan dengan target masih belum tercapai
yaitu sebesar 20/100.000 penduduk. Untuk kegiatan PJB dengan angka bebas jentik mencapai 92,95%
tahun 2007 dan belum mencapai target >95%. Dengan hasil ABJ ini mengindikasikan bahwa di daerah
tersebut kepadatan jentiknya masih tinggi.
4. Keterlibatan banjar dalam pelaksanaan fogging
Keterlibatannya berupa sumber daya manusia seperti tenaga fogging untuk melakukan penanggulangan
terhadap penyakit DBD. Selanjutnya informan mengatakan disamping tenaga juga masyarakat banjar
membantu membawa bahan-bahan fogging seperti membawa jerigen yang sudah berisi campuran,
memberi petunjuk rumah yang disemprot dan masyarakat menutup alat-alat masak maupun tempat
minum. Sebelum fogging fokus dilaksanakan terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada masyarakat
melalui tenaga banjar yang disebut ”kesinoman” atau juru arah.
Disamping itu bentuk keterlibatan masyarakat dalam operasional seperti pembelian bahan-bahan fogging
bersumber dari swadaya masyakat. Memang dukungan swadaya masyarakat masih sangat kurang,
terlihat pada pelaksanaan fogging fokus yang dilakukan hanya sekali kegiatan saja karena keterbatasan
biaya yang ada pada Banjar maupun desa.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan fogging fokus bukan saja dilakukan oleh tenaga puskesmas
juga dilaksanakan oleh tenaga dari Banjar atau ”klian” Banjar. Dalam kegiatan fogging fokus yang
dilakukan bersama masyarakat belum berjalan secara optimal. Terutama pengawasan yang dilakukan
oleh ”klian” banjar masih terdapat kegiatan yang belum sesuai dilakukan petugas fogging seperti pada
pencampuran obat dengan minyak solar tidak sesuai pedoman sehingga pelaksanaan fogging kurang
efektif.
5. Permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaan fogging fokus
Kegiatan fogging fokus yang dilaksanakan oleh tenaga banjar antara yang direncanakan dengan
pelaksanaan belum sesuai, sehingga kegiatan fogging fokus menjadi kurang optimal. Hal ini disebabkan
kurangnya koordinasi antara banjar termasuk pengawasan dari puskesmas dalam mengumpulkan mesin
fogging. Dalam pencampuran insektisida dengan bahan pelarut masih banyak yang tidak tepat, seperti
menggunakan alat ukur seperti menggunakan gelas Aqua untuk pengukuran insektisida (obat fendona).
Beberapa petugas fogging dalam melakukan pencampuran ada yang menambahkan Baygon, mengurangi
jumlah minyak solar sehingga konsentrasi untuk campuran fogging akan berubah dan menyebabkan fogging
fokus menjadi kurang efektif. Metode pemberantasan DBD melalui pengasapan untuk memberantas
nyamuk dewasa sampai sekarang belum menunjukan hasil yang memuaskan, terbukti dengan
meningkatnya kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD.
Keterlambatan laporan kasus yang diterima puskesmas dari sarana pelayanan kesehatan menyebabkan
keterlambatan dalam penanganan kasus, sehingga penanganan kasus yang dilakukan oleh puskesmas
menjadi terlambat. Kurangnya pengawasan pemerintah, petugas puskesmas dan desa/kelurahan
sehingga kegiatan fogging yang dilaksanakan oleh tenaga banjar tidak terpantau terutama pelaksanaan
fogging dari swadaya masyarakat yang menyebabkan kasus DBD masih tetap tinggi.Pada saat pelaksanaan fogging fokus ada sebagian masyarakat yang pintu rumahnya masih ada yang
tertutup, dengan alasan bahwa di rumah tersebut ada bayi, ada orang sakit, masyarakat ada yang
memelihara lobster sehingga penyemprotannya kurang maksimal. Di samping pada kawasan pariwisata
beberapa vila-vila yang dihuni wisatawan tidak diijinkan untuk melakukan fogging di tempatnnya, karena
merasa terganggu akibat asap yang ditimbulkan.
Masalah dana yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan fogging fokus baik yang bersumber dari
pemerintah maupun yang bersumber dari swadaya masyarakat masih sangat kecil, bila dibandingkan
dengan jumlah kasus DBD yang terus mengalami peningkatan.

KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan fogging fokus dalam upaya pemberantasan penyakit
DBD di Kota Denpasar belum optimal sehingga kasus DBD masih tetap tinggi. Hal tersebut
disebabkan beberapa pelaksanaan fogging fokus secara teknis masih belum sesuai dengan pedoman atau
petunjuk teknis. Kemudian dengan kebijakan Dinas Kesehatan Kota Denpasar dalam mengalokasikan
dana untuk kegiatan fogging fokus belum berdasarkan pada jumlah kasus DBD yang ada di masingmasing
puskesmas. Sumber daya manusia petugas fogging dan tenaga pengawas belum mendapat
pelatihan tentang teknis fogging sehingga menyebabkan pelaksanaan fogging fokus menjadi kurang efektif.
Keterlambatan laporan yang diterima dari sarana kesehatan menyebabkan kegiatan penyelidikan
epidemiologi maupun pelaksanaan fogging fokus menjadi terlambat. Hal ini juga sebagai penyebab kurang
efektif dalam pelaksanaan fogging fokus yang dilakukan tenaga Banjar. Kemudian dalam fungsi
pengawasan yang dilakukan petugas kesehatan, petugas desa/kelurahan dan banjar belum berjalan
dengan baik sehingga beberapa pelaksanaannya tidak sesuai dengan pedoman.

SARAN
Diharapkan kepada petugas Dinas Kesehatan Kota dan puskesmas agar mengupayakan pelatihan bagi
tenaga yang belum diberi pelatihan dan meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan fogging fokus.
Bagi petugas fogging agar dalam melaksanakan tugasnya selalu mengikuti pedoman/petunjuk teknis yang
ada sehingga kasus DBD dapat dicegah.

DAFTAR REFERENSI
1. WHO, (2007) Case Dengue in South East Asia, [iternet] Available from
http:/www.searo.who.int/EN/section 10/section 332_1101 htm, [Accessed: 16 Mei 2008].
2. Dinas Kesehatan Propinsi Bali, (2007) Profil Dinas Kesehatan Propinsi Bali
3. Dinas Kesehatan Kota Denpasar, (2007) Profil Dinas Kesehatan Kota Denpasar
4. Wawasan digital, (2007) DBD Masih Mengganas, [internet] Tersedia dalam
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=35668it
emid=35 [Diakses tanggal 6 Nopember 2008]
5. Muninjaya, A.A.G. (2004) Manajemen Kesehatan, Edisi 2, Buku Kedokteran EGC, Jakarta
6. Utarini, A., Winkvist, A. and Ulfa, FM. (2003) Rapid Assessment Procedures of Malaria in Low Endemic
Countries : Community Perception in Jepara District, Indonesia, Social Science & Madicine 56 pp.701-712.
7. Heggenhougen K. and Draper A. (1990) Medical Antropology and Primary Health Care An Interoduction
and Selected Annotated Bibliography, p.84-85, EPC Publication No. 22, London.
8. Sutopo, H.B. (2006) Metode Penelitian Kuantitatif Dasar Teori dan terapannya dalam penelitian, Edisi kedua,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
9. Departemen Kesehatan RI. (2005) Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia,
Ditjen PPM dan PLP, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar