Ad Code

Responsive Advertisement

Gelar Palsu & Kepribadian

Seringkali kita terheran-heran ketika seseorang yang kebetulan kita kenal dan sebelumnya tidak memiliki gelar apa-apa tiba-tiba sudah menyandang gelar setingkat Magister atau Doktor. Lebih heran lagi jika hal itu terjadi pada individu yang tinggal di kota dimana tidak ada Universitas resmi yang menyelenggarakan program setingkat S2 (magister) atau S3 (doktor). Komentar yang keluar dari sebagian orang adalah: kapan kuliahnya? Kok gampang amat dapat gelar doktor? Tesisnya tentang apa ya? Kok bisa dia dapat gelar itu padahal dia khan cuma tamatan SMU?
Komentar-komentar tersebut tentu amat wajar dan beralasan mengingat bahwa untuk meraih gelar S2 (magister) atau S3 (doktor) sungguhan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Sebagai contoh: untuk lulus seleksi dan masuk ke jenjang pendidikan di tingkat S2 memerlukan berbagai persyaratan, seperti jumlah IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) ditingkat S1 harus mencapai 3,00 (dgn score tertinggi: 4,00), Score TOEFL harus mencapai 500 atau lebih, Score Test Potensi Akademik (TPA) harus mencapai 550 ke atas, dsb. Lulus seleksi juga belum menjamin bahwa seseorang akan bisa meraih gelar yang diingingkannya karena ia masih harus mengikuti kuliah dengan jumlah SKS tertentu, membuat makalah, melakukan penelitian dan membuat tesis. Semua ini membutuhkan kerja keras dan ketekunan yang menyita waktu bertahun-tahun. Mereka yang pernah melewati proses ini pasti tahu apa artinya pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperoleh sebuah gelar akademik yang pantas. Membaca berbagai buku teori, melakukan penelitian, menguji hipotesis, mempresentasikan karya ilmiah di depan dosen-dosen penguji merupakan beberapa contoh kegiatan dalam proses pendidikan yang panjang dan melelahkan yang harus dilalui para penuntut ilmu. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk jenjang pendidikan S2 adalah antara 3 s/d 5 tahun, sementara S3 di luar negeri adalah 4 s/d 8 tahun, bahkan ada juga yang baru berhasil menyelesaikan kuliah setelah menjalaninya selama 10 tahun. Lamanya waktu yang harus ditempuh tersebut , bagi orang dewasa apalagi jika kuliah sambil bekerja, bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karena itu tidak jarang bahwa beberapa mahasiswa tidak berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Kondisi tersebut amat berbeda dengan program S2 atau S3 yang ditawarkan banyak "lembaga pendidikan" model "instant" yang membuka program-program di hotel-hotel berbintang atau bahkan kuliah di tempat kerja (kantor) peserta. Untuk masuk ke program yang ditawarkan, peserta hanya cukup mengisi formulir, memilih gelar yang diinginkan, lalu membayar biaya jutaan rupiah( contoh: Rp 5 juta s/d Rp 10 Juta untuk gelar MM, MSc, MBA, BBA dan Rp 20 juta s/d 30 juta untuk gelar Doktor atau Profesor) dan selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi dari pihak penyelenggara kapan ada "pertemuan" dan jadwal wisuda. Mahasiswa yang mengikuti program ini cukup mengikuti beberapa kali perkuliahan atau menyelesaikan beberapa modul yang biasanya dikirim ke rumah, menyetor sejumlah uang , mengikuti widusa (terkadang di luar negeri) lalu memperoleh ijazah dan segera menyandang gelar. Gampang dan cepat, ibarat membuat Mie Instant. Praktek seperti inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah "jual beli gelar". Jual beli gelar ini nampaknya tidak pernah surut bahkan semakin banyak peminatnya. Gelar kehormatan seperti Doktor Honouris Causa yang seharusnya hanya diberikan kepada seseorang yang telah berjasa dan memiliki prestasi luar biasa di suatu bidang tertentu (terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan) pun tidak luput dari praktek jual beli ini. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika suatu saat kita menemukan ternyata salah seorang rekan atau kenalan kita tiba-tiba sudah menyandang gelar doktor tersebut, sementara kita tahu dengan pasti orang tersebut tidak memiliki prestasi luar biasa di masa sekolah atau pun di masyarakat.
Beberapa pertanyaan yang perlu kita kemukakan untuk menyikapi fenomena jual beli gelar ini diantaranya adalah faktor apakah yang menyebabkan individu berlomba-lomba untuk memperoleh gelar sampai-sampai harus menggunakan jalan pintas dengan cara membeli gelar tersebut. Lalu bagaimana sebenarnya karakteristik para pembeli gelar tersebut jika dilihat dari kacamata psikologi. Tidakkah ada rasa malu dan tenggangrasa dari para pembeli gelar tersebut terhadap para individu yang benar-benar memperoleh gelar dengan cara menuntut ilmu dan mengikuti kaidah keilmuan yang berlaku? Apakah mereka mengalami suatu gangguan kepribadian? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jawab dalam artikel ini.
Penyebab
Gelar adalah Lambang Status
Di sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung masih memiliki pola pikir feodalistik, gelar (degree) merupakan suatu kebanggaan luarbiasa dan sekaligus lambang status sosial pemiliknya di dalam masyarakat. Tidaklah mengherankan jika seseorang yang telah berhasil menyelesaikan studi dan memperoleh gelar akan disambut oleh pihak keluarga bagaikan pahlawan yang baru kembali dari medan perang. Serangkaian upacara dan selamatan/syukuran dengan mengundang relasi atau bahkan orang sekampung dilakukan untuk menyambut sang sarjana/magister/doktor tersebut. Tidak sebatas itu saja, ucapan selamat pun mengalir dan dipamerkan di koran-koran atau majalah.
Tidak ada yang salah dengan tradisi tersebut diatas, asalkan memang sang penerima gelar benar-benar memperolehnya dengan cara yang layak. Sambutan maupun ucapan selamat merupakan suatu hal yang wajar dan pantas diterima sebab untuk memperoleh gelar yang asli memang ibarat memenangkan pertempuran. Bayangkan saja, berapa banyak peserta program S2 atau S3 yang harus berpisah dengan anggota keluarganya, tak jarang ia harus menggadaikan harta benda miliknya dan berjuang seorang diri demi memperoleh gelar dari sebuah universitas ternama di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu sangatlah wajar jika mereka menganggap bahwa gelar yang diperolehnya merupakan suatu prestise dan kebanggaan tersendiri karena dihasilkan melalui kerja keras dan ketekunan selama bertahun-tahun. Sayangnya jika tradisi seperti ini juga berlaku untuk penerima gelar palsu (gelar belian) maka esensi suatu gelar yang seharusnya lebih mengutamakan bobot ilmu dan karakter pribadi yang dimiliki oleh sang pemegang gelar tersebut, daripada sekedar ijazah atau nama gelar yang mentereng, menjadi luntur.
Mutu Pendidikan Nasional
Masyarakat sudah sangat paham dengan mutu pendidikan di negeri ini. Posisi SDM dan peringkat perguruan tinggi kita merosot amat rendah dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Singapura maupun Malaysia. Oleh karena itu, bagi orang-orang berkantong tebal dan berpikir praktis mungkin akan timbul pemikiran untuk apa capek-capek meraih kesarjanaan formal yang hasilnya juga tidak membuat "lebih pintar", tidak siap kerja, lama selesainya, dan biaya yang dikeluarkan pun tidak jauh berbeda dengan "sarjana yang dibeli". Orang-orang seperti inilah yang kemudian tanpa ragu dan malu, memejeng gelar palsu. Hal ini bisa terjadi karena masyakarat terkadang sulit membedakan mutu antara gelar sarjana sungguhan dengan gelar sarjana belian.
Tuntutan Dunia Kerja
Tuntutan dunia kerja yang lebih menggantungkan penilaian pada sertifikat, ijazah dan gelar juga semakin menguatkan pendapat bahwa ijazah dan gelar merupakan jaminan kesuksesan dalam berkarir. Tidaklah menjadi rahasia lagi bahwa di Instansi-instansi tertentu, ijazah dan gelar adalah modal utama untuk kenaikan pangkat dan penghargaan (terlepas dari apakah itu gelar formal atau palsu) dibandingkan dengan performa kerja pegawai. Oleh karena itu jangan heran jika para pejabat di instansi tersebut tiba-tiba beramai-ramai mengikuti program S2 atau S3 kelas jauh dari universitas tertentu dalam rangka untuk mendapat promosi jabatan.
Kepribadian Sang Individu
Adanya gangguan kepribadian tertentu yang dialami seseorang dapat menyebabkan individu tersebut tidak merasakan adanya suatu yang salah dengan perilaku membeli gelar. Bagi mereka hal ini merupakan suatu kesempatan untuk meraih impian yang diinginkanya dengan cara tercepat dan termudah.
Kepribadian Narsisistik
Jika kita bertanya pada masing-masing individu maka saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa gelar "tidak bisa dibeli dengan uang". Gelar hanya dapat dibeli dengan ketekunan, kerja keras, kejujuran akademik, kematangan berpikir, kedewasaan, sikap pantang menyerah, berkutat dengan teori dan data, persisten, dan tidak ada jalan pintas. Tak ada gelar yang ditawarkan begitu saja. Proses seleksinya sangat ketat, bukan masuk tanpa test dan cukup mengisi formulir saja. Teman-teman yang telah melalui proses ini pasti merasakan betapa sulitnya menuntut ilmu dan memperoleh gelar akademik.
Meski semua orang tahu bahwa gelar merupakan suatu yang membanggakan dan lambang status sosial, namun banyak juga individu yang justru tidak mau tahu dengan gelar yang diperolehnya. Bagi individu semacam ini gelar atau ijazah tidak lebih dari sebatas tanda penghargaan dan pengakuan atas jasa atau hasil jerih payahnya selama menuntut ilmu sebagai persyaratan memperoleh gelar tersebut. Individu-individu seperti ini tidak silau dengan gelar, bahkan sedapat mungkin mereka tidak akan mencantumkan gelar di depan atau dibelakang namanya. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan segala-galanya. Oleh karena itu mereka lebih banyak memperlihatkan karya nyata di bidang keilmuannya dengan cara memberikan pemikiran-pemikiran baru dan berusaha membantu orang lain sesuai dengan kompetensinya daripada menonjolkan gelar tersebut.
Individu yang tidak silau dengan gelar seperti yang telah saya sebut diatas amat berbeda karakternya dengan mereka yang menganggap bahwa gelar adalah segala-galanya. Bagi individu seperti ini ijazah dan gelar adalah modal hidup sehingga harus diperoleh (apapun caranya) dan jika sudah didapat maka harus diketahui oleh semua orang. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak lagi merupakan suatu hal yang penting. Individu-individu jenis inilah yang dengan bangga memasang iklan-iklan ucapan selamat dengan space dan tulisan besar di koran-koran. Lucunya ucapan selamat tersebut seringkali justru datang dari dirinya sendiri. Artinya ucapan selamat tersebut jika ditelusuri lebih lanjut ternyata dikirim oleh perusahaan-perusahaan miliknya atau sanak keluarganya sendiri.
Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri si pembeli gelar yang tanpa malu dan canggung memamerkan gelar atau ijazah tersebut di depan orang lain. Apakah mereka mengalami gangguan kepribadian? Menurut pandangan saya, jika pembelian gelar tersebut dilakukan secara sadar dengan pertimbangan matang demi memenuhi ambisi-ambisi pribadi dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat (terutama bagi para pemegang gelar asli) maka sudah tentu dapat dikatakan bahwa individu tersebut memang mengalami gangguan kepribadian. Namun demikian jika individu dipengaruhi oleh cara-cara yang tidak profesional atau dibohongi oleh para penyelenggara program gelar palsu maka tentu tidak adil jika dikatakan bahwa individu pembeli gelar tersebut mengalami gangguan kepribadian.
Untuk membedakan antara individu pembeli gelar karena dibohongi oleh pihak ketiga dengan individu yang dengan sadar memang ingin menempuh jalan pintas untuk memperoleh gelar demi ambisi pribadi dan mengabaikan rasa keadilan, maka saya mengajak pembaca untuk melihat salah satu karakteristik gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah Gangguan Kepribadian Narsisistik atau Narcissistic Personality Disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain (DSM-IV). Perasaan-perasaan tersebut mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun juga.
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut:
  1. Merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki (has a grandiose sense of self-important). Ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda.
  2. Percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik (believe that she or he is special and unique).
  3. Dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati (is preoccupied with fantasies of unlimited success, power, briliance, beauty, or ideal love).
  4. Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi (requires excessive admiration).
  5. Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa (has a sense of entitlement).
  6. Kurang empathy (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with the feelings and needs of others).
  7. Mengeksploitasi hubungan interpersonal (is interpersonally exploitative).
  8. Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya (is often envious of others or believes that others are envious of him or her).
  9. Angkuh (shows arrogant, haughty behavior or attitudes).
Meskipun mungkin tidak semua ciri tersebut diatas dimiliki oleh para pembeli gelar namun setidaknya beberapa ciri sudah cukup menunjang adanya gangguan kepribadian tersebut. Untuk lebih jelasnya maka saya mencoba memberikan beberapa ciri kepribadian yang biasanya dimiliki oleh individu-individu yang seringkali mengambil jalan pintas untuk memperoleh apa yang diinginkannya, termasuk gelar, sebagai berikut:
Merasa Diri Paling Hebat
Jika seseorang merasa dirinya paling hebat/penting (bedakan dengan orang yang benar-benar hebat/penting) maka ia tidak akan malu-malu untuk memamerkan apa saja yang bisa memperkuat citranya tersebut. Selain itu untuk mendukung citra / image yang dibentuknya sendiri, individu rela menggunakan segala cara. Oleh karena itu ketika orang tersebut berhasil memperoleh gelar (tanpa mempedulikan bagaimana cara memperolehnya) maka ia tidak akan segan atau malu-malau untuk memamerkannya kepada orang lain. Bagi mereka hal ini sangat penting agar orang lain tahu bahwa ia memang orang yang hebat. Tidak heran cara-cara seperti mengirimkan ucapan selamat atas gelar yang diperoleh secara instant (dibeli) di koran-koran oleh "diri sendiri" dianggap bukan suatu hal yang aneh.
Fantasi Kesuksesan & Kepintaran
Pintar dan sukses adalah impian setiap orang. Meski demikian hanya sedikit orang yang bisa mewujudkan impian tersebut. Pada individu pembeli gelar sangatlah mungkin mereka menganggap bahwa kesuksesan yang telah mereka capai (cth: punya jabatan) belum cukup jika tidak diikuti dengan gelar akademik yang seringkali dianggap sebagai simbol "kepintaran" seseorang. Sayangnya untuk mencapai hal ini mereka seringkali tidak memiliki modal dasar yang cukup karena adanya berbagai keterbatasan seperti tidak punya latarbelakang pendidikan yang sesuai, tidak memiliki kemampuan intelektual yang bagus atau tidak memiliki waktu untuk sekolah lagi. Hal ini membuat mereka memilih jalan pintas dengan cara membeli gelar sehingga terlihat bahwa dirinya telah memiliki kesuksesan dan kepintaran (kenyataannya hal tersebut hanyalah fantasi karena gelar seharusnya diimbangi dengan ilmu yang dimiliki).
Sangat Ingin dikagumi
Pada umumnya para pembeli gelar adalah para individu yang sangat terobsesi untuk dikagumi oleh orang lain. Oleh karena itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan "simbol-simbol" yang dianggap menjadi sumber kekaguman, termasuk gelar akademik. Obsesi untuk memperoleh kekaguman ini sayangnya seringkali tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi) diri sang individu tersebut (cth: tidak memenuhi syarat jika harus mengikuti program pendidikan yang sesungguhnya). Akhirnya dipilihlah jalan pintas demi mendapatkan simbol kekaguman tersebut.
Kurang Empathy
Para pembeli gelar pastilah bukan orang yang memiliki empati, sebab jika mereka memilikinya maka mereka pasti tahu bagaimana perasaan para pemegang gelar asli yang memperoleh gelar tersebut dengan penuh perjuangan. Jika mereka memiliki empati pastilah mereka dapat merasakan betapa sakit hati para pemagang gelar sungguhan karena kerja keras mereka bertahun-tahun disamakan dengan orang yang hanya bermodal uang puluhan juta rupiah.
Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan
Setiap individu yang mengalami gangguan kepribadian narsissistik merasa bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan keistimewaan. Karena merasa dirinya istimewa maka dia tidak merasa bahwa untuk memperoleh sesuatu dia harus bersusah payah seperti orang lain. Oleh karena itu mereka tidak merasa risih atau pun malu jika membeli gelar karena bagi mereka hal itu merupakan suatu keistimewaan yang layak mereka dapatkan.
Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik
Pada umumnya para penyandang gelar palsu sangat marah dan benci pada orang-orang yang mempertanyakan hal-hal yang menyangkut gelar mereka. Bagi mereka, orang-orang yang bertanya tentang hal itu dianggap sebagai orang-orang yang iri atas keberhasilan mereka. Jadi tidaklah mengherankan jika anda bertanya pada seseorang yang membeli gelar tentang ilmu atau tesis atau desertasinya maka ia akan balik bertanya bahkan menyerang anda sehingga permasalahan yang ditanyakan tidak pernah akan terjawab. Bahkan mereka akan menghindari pembicaraan yang menyangkut hal-hal akademik.
Kepercayaan Diri yang Semu
Jika dilihat lebih jauh maka rata-rata individu yang mengambil jalan pintas dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan seringkali disebabkan karena rasa percaya dirinya yang semu. Di depan orang lain mereka tampak tampil penuh percaya diri namun ketika dihadapkan pada persoalan yang sesungguhnya mereka justru menarik diri karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki modal dasar yang kuat. Para individu yang membeli gelar umumnya adalah mereka yang takut bersaing dengan para mahasiswa biasa. Mereka kurang percaya diri karena merasa bahwa dirinya tidak mampu, tidak memenuhi persyaratan dan takut gagal. Daripada mengikuti prosedur resmi dengan risiko kegagalan yang cukup tinggi (hal ini sangat ditakutkan oleh para individu narsisistik) maka lebih baik memilih jalan pintas yang sudah pasti hasilnya.
Tindakan
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin timbul di masa mendatang sebagai akibat maraknya jual beli gelar, maka perlu diadakan tindakan-tindakan nyata agar negara ini tidak kebanjiran gelar yang hebat-hebat padahal isinya kosong. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
Individu
Segala keputusan dan tindakan yang akan dilakukan oleh individu sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu individu hendaknya menyadari bahwa tidak ada jalan pintas untuk mencapai gelar kesarjanaan. Semua itu harus dicapai melalui tahapan-tahapan tertentu yang panjang. Jika anda memang tidak memiliki kapasitas sebagai seseorang yang layak untuk menyandang suatu gelar akademik (karena tidak pernah melalui tahapan yang dipersyaratkan) maka hendaklah tidak menipu diri dengan cara membeli gelar. Jika itu anda lakukan secara sadar maka hal tersebut adalah ibarat anda berjalan dengan menggunakan jubah raja yang kebesaran. Anda mungkin merasa diri hebat karena memakai jubah yang mahal dan bagus meskipun kedodoran. Tetapi jangan lupa bahwa orang lain pasti tahu bahwa jubah itu bukan untuk anda. Seandainya pun ada rekan atau relasi yang memuji atau menyanjung anda ketika menggunakan jubah tersebut, saya yakin bahwa orang tersebut tidak lebih dari seorang penjilat atau hanya mau berbasa-basi untuk menyenangkan anda. Inikah yang anda inginkan? Jika tidak maka raihlah gelar dengan cara-cara yang seharusnya.
Masyarakat
Masyarakat Indonesia memiliki peran penting terhadap maraknya jual beli gelar. Dalam hal ini masyarakat dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori:
  1. Akademik. Masyarakat akademik dapat mempelopori pemberantasan gelar palsu dengan cara meningkatkan mutu pendidikan (ilmu pengetahuan & pembentukan kepribadian) dan tidak semata-mata berorientasi pada materi. Hal ini mengimplikasikan bahwa para pendidik yang ada di perguruan tinggi benar-benar mereka yang telah diseleksi secara ketat dan memenuhi syarat sebagai pendidik. Selain itu Pembukaan program-program S2 & S3 kelas jauh hendaknya dipertimbakan secara cermat, bukan semata-mata demi kepentingan mengejar pendapatan.
  2. Media Massa. Media massa dapat membantu upaya pemberantasan jual beli gelar dengan cara menolak menerbitkan iklan-iklan jual beli gelar yang dipasang oleh lembaga penjaja gelar palsu.
  3. Perusahaan. Dalam dunia kerja atau industri cara-cara pemberantasan gelar palsu adalah dengan tidak mengutamakan ijazah & gelar sebagai dasar kenaikan pangkat atau pun penghargaan, tetapi lebih kepada kompetensi yang dimiliki dan kinerja. Selain itu ijazah atau pun gelar yang diperoleh hendaknya diperiksa dengan ketat sehingga gelar palsu tidak disamakan dengan gelar sungguhan. Tidak mempekerjakan karyawan yang membeli gelar atau memperoleh gelar secara instant merupakan langkah jitu yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah "diploma diseases".
  4. Umum. Masyarakat umum dapat berperan dalam pemberantasan gelar palsu dengan cara tidak mempromosikan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada teman-teman atau pun keluarga, tidak memamerkan gelar yang diperoleh oleh anggota keluarga atau sanak saudara secara berlebihan seperti memasang ucapan selamat secara besar-besaran di surat kabar, melaporkan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada pihak berwenang, dll.
Pemerintah
Pemerintah dapat secara aktif melakukan tindan-tindakan baik preventif maupun kuratif untuk mencegah maraknya jual beli gelar palsu. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:
  1. Pembuatan kurikulum pendidikan nasional yang lebih seimbang antara pembentukan karakter individu dan ilmu dan pengetahuan. Selain itu rencana strategi pendidikan hendaknya lebih berorientasi pada pengisian lapangan kerja daripada hanya berhenti sampai mendapat ijazah atau gelar saja. Dengan demikian maka setiap individu yang berhasil memperoleh gelar akan mendapatkan ilmu dan ketrampilan untuk bekerja di bidangnya. Dengan demikian masyarakat pasti akan dapat membedakan dan menghargai gelar yang diperoleh seseorang sehingga gelar palsu mungkin tidak laku lagi.
  2. Menindak tegas penyelenggara-penyelenggara program S1 (sarjana), S2 (magister) dan S3 (doktor) yang menyimpang dari prosedur yang sebenarnya; seperti ketentuan jumlah SKS, tempat perkuliahan, proses belajar mengajar, dll.
  3. Menghentikan praktek-praktek jual beli gelar yang diselenggarakan melalui studi jarak jauh yang banyak terjadi di kota-kota kabupaten maupun ibukota provinsi di Indonesia.
  4. Menolak gelar-gelar yang diperoleh secara tidak pantas untuk keperluan kenaikan pangkat atau penghargaan di instansi-instansi pemerintah, sehingga para pejabat tidak berlomba-loma "mengambil" gelar.
Seandainya hal-hal tersebut diatas dapat kita laksanakan maka niscaya praktek jual beli gelar ini akan dapat dikurangi. Jika tidak maka bisa-bisa lembaga pendidikan formal kita dipenuhi oleh lembaga-lembaga penjual gelar dan setiap orang dapat memiliki gelar secara cepat. Jika sampai demikian yang terjadi, lalu apa artinya gelar itu.
Negara ini sudah terlalu lama berada dalam kondisi yang tidak sehat. Di berbagai sektor kita dapat melihat carut-marut penyelenggaraan negara kita ini. Relakah kita jika dalam dunia akademik, yang katanya menjadi ujung tombak untuk memajukan sumber daya manusia, dikotori oleh praktek-praktek jual beli gelar yang sangat memalukan dan merupakan pembodohan bangsa ini? Dan relakah kita jika negara ini dibanjiri oleh para doktor yang ternyata sebagian besar adalah doktor honoris causa dari universitas-universitas yang tidak jelas juntrungannya? Jika tidak rela, mari segera mengambil tindakan nyata. (jp)

Posting Komentar

0 Komentar