Ad Code

Responsive Advertisement

BERAGAMA DI KALA DUKA

Tidaklah sepenuhnya salah ketika Sigmund Freud atau Karl Marx berteori bahwa kebutuhan untuk bertuhan ataupun beragama muncul ketika seseorang ditimpa malapetaka. Bahkan kedua pemikir ini melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa ide dan keyakinan tentang Tuhan itu hanyalah produk dari situasi tak berdaya ketika instansi sekuler atau orang lain tak sanggup menawarkan jalan keluar dari derita yang menghimpitnya.

Para kiai ataupun pastor bisa jadi kesal terhadap Freud dan Marx. Tetapi jika kita ikuti argument mereka dan dalam konteks apa mereka bicara, maka boleh jadi kita malah membenarkannya.

Ketika berbicara tentang Tuhan dan agama, baik Marx maupun Freud tidaklah berangkat dari dalil-dalil kitab suci dan tidak pula dari postulat-postulat teologi, melainkan dengan mengamati situasi konkret manusia yang secara psikologis merasa tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif.

Marx, misalnya, merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama menurut Marx hanya menawarkan solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga di seberang derita dan kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi ketika melihat agama dengan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran untuk menindas dan membodohi rakyat.

Hemat saya, yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx bukanlah hakekat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktik keberagamaan yang bersifat eskapis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkret, bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Keberagamaan senacam ini bagi pemikir semacam Marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan derita sementara (palliatif) karena akar penyakitnya tidak tersentuh sama sekali.

Salahkah menjumpai Tuhan dan taat beragama di kala duka? Tentu saja tidak. Karena Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu, maka siapa pun, apa pun, di mana pun dan dalam situasi apa pun seseorang bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya. Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas berpaling dari Tuhan, bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia teruji.

Dalam menghayati iman dan cinta pada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari egonya agar diganti dengan sifat ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa” “Datanglah KerajaanMU di hati ini, dan berlakulah KerajaanMU di muka bumi”.

Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri? Karena pilihan untuk mencintai serta pasrah pada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan, merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa atau melarang. Oleh karenanya dialog pada Tuhan, sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri.
Adakah dialog itu dijiwai oleh rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan ataukah datar-datar saja semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang.

Dengan demikian, ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan. Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka, atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan prilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul. Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk memperoleh kekebalan, untuk mengejar pangkat, untuk mengawetkan jabatan dan semacamnya.

Jika itu yang terjadi, maka ritual agama telah bergeser menjadi magis. Yaitu, suatu upaya memperoleh tambahan kekuatan supranatural untuk memuaskan ego duniawi, bukannya sikap kepasrahan pada Tuhan. Dalam kaitan ini, maka benarlah sinyalemen kalangan psikiater Indonesia bahwa para pejabat tinggi Negara lebih senang konsultasi pada dukun ketimbang pada psikiater ataupun ulama. Kalaupun pada ulama atau kiai, bisa jadi sikap batinnya tak beda dari ketika menghadap pada dukun untuk minta tambahan kekebalan diri.

Jika kita kaji ulang sejarah agama-agama besar, akan terlihat bahwa sejak awal kemunculan, para pendirinya selalu menempatkan upaya transformasi sosial sebagai salah satu agenda pokoknya. Ajaran agama memang selalu mengajarkan iman yang bersifat abstrak dan transendental.
Tetapi, sama sekali tidak berarti menomorduakan realitas sosial. Bahkan secara agak ekstrim kita bisa mengatakan bahwa masa berlaku agama itu hanya di dunia ini. Begitu seseorang meninggal maka berakhirlah baginya tuntutan untuk beragama.

Jadi, salah satu pesan fundamental, bahwa fungsi agama, adalah agar pemahaman dan penghayatan nilai-nilai transendental itu sanggu membimbing manusia untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur pada kehidupan individual maupun sosial sehingga masyarakat tidak terjerat pada kebanggaan materi belaka.

Prestasi dalam bidang materi yang didukung oleh teknologi modern sangatlah vital bagi kelangsungan hidup kita. Namun, ketika hal itu telah menjadi acuan dan ukuran sebuah keberhasilan, maka yang terjadi adalah sebuah pendangkalan kualitas hidup. Nilai-nilai kehidupan semacam keindahan, kebebasan, demokrasi, solidaritas sosial menjadi tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika keserakahan pada kekuasaan dan prestasi bendawi menjadi acuan hidup yang dominan.

Salah satu kegagalan mencolok dari gerakan agama adalah ketidakmampuanny untuk memelihara prestasinya yang amat monumental dalam menegakkan etika dan etos transformasi sosial ketika agama memasuki kehidupan modern. Agama yang pada mulanya hadir pembawa ruh peradaban serta tiang penyangga bagi tegaknya etika sosial sekarang cenderung menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan lembaga layanan ritual untuk menampung serta menghibur bagi mereka yang tengah berduka dan frustasi akibat tersuruk dari panggung politik dan ekonomi serta kegagalan hidup.

Ibarat seorang dokter, jika seorang pasien datang padanya dengan penyakit yang sudah parah aibat tidak pernah menjaga kesehatan, maka berat baginya untuk menyembuhkan, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk pulih kembali.
Demikian juga halnya agama, terlalu sering kita membaca berita bahwa orang yang tengah menjadi sorotan pers akibat ulah kejahatannya lalu tiba-tiba ingin menunjukkan
Bahwa dirinya sangat religius, baik dalam hidup kesehariannya dan terlebih lagi selama dalam tahanan. Apa maknanya ini?

Bagi sementara orang, barangkali agama itu hanya menarik dan diperlukan ketika dalam situasi duka. Dan barangkali sebagian besar muatan doa kita lebih banyak mengeluh dan meminta ketimbang bersyukur.

Jika agama dan sikap keberagamaan hanyalah merupakan medium menyalurkan keluh kesah dan melaporkan prestasi dosa di hadapan Tuhan, maka wajar kalau agama kehilangan perannya bagi upaya meningkatkan kualitas hidup dan peradaban. Bukankah lembaga agama lalu berubah bagaikan “bengkel ketok magik” yang di dalamnya penuh rongsokan mobil?

SUMBER:THE WISDOM Of LIFE Oleh Prof.Dr.KOMARUDDIN HIDAYAT, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar