Ad Code

Responsive Advertisement

Kekuasaan yang Memiskinkan

I'm reading: Kekuasaan yang MemiskinkanTweet this!
Satu lagi tulisan yang bagus menurut saya sangat bagus dan sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang..
derita rakyat
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM, Yogyakarta


Kepakan sayap garuda rapuh. Dia limbung tak lagi seheroik saat Soekarno dengan dada berminyak berteriak 'ganyang Malaysia' atau 'go to hell with your aid' kepada Amerika. Kini Garuda Indonesia terbang rendah lalu tersesat dalam sarang penyamun Robin Hood Community. Komunitas penyamun uang rakyat untuk, katanya, membebaskan rakyat dari kemiskinan dengan maestro pembangunan ekonominya. Saat Orde Baru, Soeharto bak pahlawan memberikan gaji rendah pada pegawai tapi memberi kesempatan mencari sabetan di proyek-proyek dengan sistem sekondusif mungkin untuk korup sehingga rakyat tak menggonggong penguasa yang korup (Rosidi, 2009).

Rezim perburuan ekonomi pun memperoleh jalan tolnya lewat represif sistem disertai korupsi, konglomerasi hitam. Selama 32 tahun pula etalase ketamakan elite menyeruak hingga mencetak 25% orang kaya baru yang melebihi rata-rata orang kaya Malaysia, bahkan masuk dalam jajaran terkaya dunia (Suharto, 2008). Mereka muncul di sela-sela ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang menjadi-jadi. Sejak krisis tahun 1999, angka kemiskinan terus menukik menjadi 37,17 juta jiwa, bahkan kini menjadi 40 juta jiwa. Namun para penggarong uang negara tetap saja lebih merasa 'pahlawan' daripada misalnya, 600 ribu-700 ribu pahlawan devisa yang diperlakukan laksana 'babu' di negeri orang.

Sayap-sayap garuda patah karena perilaku birokrat, politisi, makelar, para 'benteng hukum' yang menggelapkan uang jutaan rakyat kumuh yang terpuruk. Survei Barometer Korupsi Global Transparency International Indonesia (2009) menempatkan DPR sebagai jawara korup (skor 4,4), urutan ke-2 ditempati institusi peradilan (skor 4,1), serta parpol dan pegawai publik di urutan ke-3 (skor 4,0). Kalau survei ini dibuat awal tahun 2010, mungkin posisinya berubah karena konstelasi korupsi memperlihatkan tren yang 'kompetitif'. Kasus mafia perpajakan saat ini yang melibatkan polisi, jaksa, advokat, maupun hakim bisa menyodok institusi peradilan di undakan terkorup.

Sayang, 'kompetisi' destruktif itu cuma membuntal negeri ini menjadi ladang pembantaian sistemik dan struktural bagi kaum akar rumput nan 'lancut'. Rasanya bak denyutan luka, saat para elite sibuk-mengejar--korupsi, saudara kita di NTT justru meradang kelaparan dan gizi buruk. Sebagai korban 'darwinisme' pembangunan, mereka mengemis 'kehidupan' di hutan-hutan sambil menggali umbi, pengganjal perut laparnya. Sementara para elite leluasa menikmati mewahnya kehidupan dari pajak rakyat (Rp10 triliun pajak dikorupsi per tahun) yang digelapkan (tax shelter); dari angin surga keadilan yang mudah dibeli; dari menu kebijakan prokapitalis yang mengangsur kematian usaha rakyat pedagang kaki lima, buruh, petani dan nelayan.

Contoh, dari 2 juta nelayan, 60% dari nelayan di desa berpendapatan di bawah kebutuhan minimal; 80% hanyalah buruh tangkap berpendapatan rendah; 32 juta petani Indonesia adalah buruh tani, 90 juta jiwa petani subsisten yang jika menguasai 0,36 hektare pun tak cukup untuk makan keluarga. Petani mengalami pemiskinan lima kali lipat karena minimnya infrastruktur pertanian, besarnya bunga pinjaman bank yang harus dilunasi petani. Jika petani begitu sulitnya memperoleh kredit guna memenuhi kebutuhan pangan rakyat senilai Rp258,2 triliun (Kompas, 26/4/2010), bank sekecil Century-–yang notabene bank gagal--begitu mudah ditalangi pemerintah triliunan rupiah. Petani kita pun makin buntung dengan aturan penyerahan sepenuhnya usaha budi daya pangan ke swasta lewat PP No 18/2010 yang memunculkan potensi negara luar berdaulat atas pangan kita. Sepertinya kian hari, pemerintah cuma dipilih dan dipercayakan dalam sistem kekuasaan yang menyengsarakan rakyat.

Kita lalu bertanya kenapa di saat kita dijuluki kampiun demokrasi, justru kebijakan pemerintah malah selalu menindas rakyatnya? Kenapa NTT, NTB, Papua terus digulung kemiskinan meski otonomi sudah berjalan satu dasawarsa lebih.

Akira Lida dalam Paradigm Theory and Policy Making (2004) pernah mengingatkan, kebijakan publik di negara berkembang selalu merupakan konflik kepentingan global dan domestik. Kita dipaksa hidup dalam water world seperti yang digambarkan Kevin Costner dalam filmnya, di mana negara kita selalu-beradaptasi menurut sifat air--mengalir ke derajat harga diri terendah sebagai bangsa yang mudah didikte pihak lain meski Muhammad Hatta dulu mengingatkan, democratie zonder wijsh eid een ramp voor on sallen (demokrasi tanpa kebijaksanaan adalah bencana bagi kita). Kebijaksanaan sebagai negara yang bisa menentukan kedaulatan domestiknya sendiri tanpa harus terus mengemis makan siang gratis kepada rezim kapitalis.

Pola seperti ini mengalir juga ke daerah-daerah. Banyak kasus, bukannya good governance yang terlihat, melainkan poor governance, sebuah tata pemerintahan buruk yang hanya memunculkan aneka deviasi kebijakan lokal serta pemekaran korupsi (meng-KKN-kan daerah dan mendaerahkan KKN) sehingga kantong-kantong kemiskinan terus bermunculan. Jahatnya, menurut teori fungsional kemiskinannya Zastrow (2000:140), ada semacam pembiaran kemiskinan oleh elite (lokal). Misalnya, rakyat dibuat miskin agar: 1) mereka bisa dipekerjakan dengan upah rendah, 2) menjadi momentum menaikkan citra politisi/kaum kaya lewat kedermawanannya membantu orang yang miskin, 3) menjadi simbol perlawanan bagi kelompok politik tertentu untuk dimobilisasi sebagai pemilih kelompok politik lain. Itu sebabnya kemiskinan erat kaitannya dengan politik rekayasa penguasa.

Kelaparan, kemiskinan tak mungkin tereliminasi dari masyarakat jika kewenangan yang dimiliki pemimpin tak mampu diterjemahkan sebagai kebijakan yang ramah dan membela rakyat kecil. Pemerintah pusat sibuk membuka keran pemekaran daerah tanpa melihat jeli kepentingan pragmatis yang bercokol dengan energi korupsi elitenya yang sudah mendarah. Banyak daerah di mana pemerintahnya sibuk ria menjadi pengusaha, sebaliknya pengusaha asyik mengurus kekuasaan. Itu sebabnya Gaventa (2005) dalam risetnya mengatakan desentralisasi dan pemekaran pada akhirnya cuma menguntungkan penguasa lokal, bukan rakyat.

Sumber:
http://www.forumbebas.com/post-1412825.html#pid1412825
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150199863700171&id=271484204026

Posting Komentar

0 Komentar