Ad Code

Responsive Advertisement

Tasawuf dan Puasa

Tasawuf dan Puasa Melahirkan Manusia Bertakwa
Prof. Drs. K.H. Djamaan Nur
Pembina Tasawuf & Tarekat Surau Mambaul Amin - Provinsi Bengkulu
www.baitulamin.org

Tasawuf adalah ilmu bagaimana kita membersihkan rohani dari segala sesuatu yang mazmumah/tercela atau sifat-sifat yang dilarang oleh Allah SWT dan menumbuhkan sifat-sifat mahmudah/terpuji. Sehingga kita dapat bertakarub (mendekatkan diri) dan beribadah kepada allah dengan baik dan sempurna. Dengan tasawuf, kita akan membasmi/menghilangkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat terpuji yang disuruh oleh allah SWT.

Bila sifat-sifat tercela tidak ada pada rohani kita maka timbulah sifat terpuji. Sehingga orang mau melaksanakan segala yang diperintahkan oleh allah dan dengan sendirinya meninggalkan apa yang dilarang allah.

Tasawuf adalah ilmu mendekatkan dan membersihkan diri rohani manusia. Adapun cara serta sistemnya dinamakan tarekat, sedangkan isi dari suatu peramalan tasawuf/tarekat adalah berzikir kepada allah. Dalam artian khusus maupun dalam artian umum. Singkatnya, tasawuf adalah ilmunya, sedangkan tarekat adalah bagaimana melaksanakan ilmu tersebut yang isinya adalah zikir.

Setiap amal ibadah umum maupun ibadah mahdah (ibadah yang ada ketentuan syarat dan rukunnya) dan sah/batalnya. Ada padanya syariat dan hakikat. Umpamanya, syariat salat. Ada padanya syariat yakni syarat salat dan rukun salat yang dilaksanakan secara zahir atau kasat mata sehingga bisa dilihat perbuatan manusianya. Dan ada padanya hakikat, yakni inti dan tujuan ibadah salat itu sendiri. Dimana seseorang berdialog, beraudiensi, munajat (berdoa) kepada allah SWT. Jadi, orang salat itu secara hakikatnya adalah munajat sekaligus beraudiensi menghadap allah SWT. Orang yang beribadah demikian, dikatakan salatnya khusuk. Sedangkan orang yang tidak merasakan adanya munajat dan audiensi kepada allah, dikatakan salatnya sahun/lalai/tidak konsentrasi.

Dalam hadis, rasulullah bersabda: “Assalatu mikrajul mukminin” artinya, salat itu adalah mikrajnya (menghadap/beraudiensi) orang mukmin. Itulah tanda salat orang yang khusuk. Dalam al-quran (QS:al-ankabut:45) allah berfirman - yang artinya, “sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan fakhsyak dan munkar”. Kalau ada orang yang salat, tapi masih juga berbuat fakhsyak dan munkar, berarti salatnya sahun/lalai. Sedangkan orang yang salatnya khusuk, tentunya tidak akan berbuat fakhsyai wal munkar lagi. Orang yang mempunyai sifat-sifat mahmudah akan membuahkan takwa. Demikian juga dalam berpuasa. Ada syariat dan hakikatnya yang akan membuahkan takwa.

Rasulullah bersabda: “Kam min shaimin, laisalahu minsiamihi illal ju’a wal ‘athasy” artinya, banyak sekali orang berpuasa tidak ada yang didapatinya kecuali haus dan lapar. Puasa orang yang demikian, sudah pasti puasa yang hanya syariat atau lahirnya saja sedangkan batinnya tidak ada. Padahal, batin/ruh puasa bertujuan menekan hawa nafsu amarah. Yakni nafsu menurut kehendak hawa nafsu yang dikendalikan iblis & setan. Seseorang punya nafsu untuk memiliki harta, berumah tangga dan mendapatkan tahta/kedudukan. Nafsul amarah adalah nafsu yang semata-mata sifatnya duniawi. Karenanya, dia tidak mempedulikan bagaimana memperoleh/mendapatkan nafsu-nafsu itu baik dengan cara halal ataupun haram. Nafsul amarah adalah nafsu tamak, karena itu mungkin dia mendapatkannya dengan cara yang haram atau melawan hukum. Seperti nafsu sex = berzinah, nafsu harta = mencuri, merampok, korupsi hingga membunuh. Nafsu tahta = mungkin dengan cara yang tidak jujur, penggelembungan suara (Caleg/Cakada/Pilpres). Yang demikian ini, pasti dimurkai allah. Sehingga kalau orang berpuasa, tidak ada padanya hakikat yang demikian maka puasanya menjadi puasa yang tidak membuahkan takwa.

Dalam kajian tasawuf, ada tiga tingkat puasa. Pertama, puasa orang awam atau umum. Adalah puasa menahan nafsu sex, haus dan lapar, mungkin juga ada hakikatnya tapi sangat sedikit. Tingkat puasa kedua adalah puasa khusus yakni puasa dari nafsu sex, nafsu makan dan minum tapi juga mempuasakan dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa. Contoh, tidak bergunjing/membicarakan aib orang lain, menjadi provokator atau menyuruh orang berbuat yang terlarang termasuk menjadi mucikari. Puasa ketiga adalah yang lebih tinggi nilainya. Istilahnya khawasil khawas (khusus, lebih khusus lagi) yakni puasanya para nabi, rasul dan para wali allah. Yakni puasa yang tidak tergoda oleh keindahan dan kemegahan dunia yang ada di depan mata dan sekelilingnya.

Hadis Bukhari – Muslim, agama islam meliputi tiga pilar yakni islam, iman dan ihsan. Pilar pertama adalah islam, isinya mengenai lima rukun islam dengan disiplin ilmu fikih atau syariat. Puasa, masuk dalam rukun ke-empat. Pilar kedua adalah iman, dengan rukun iman yang enam. Disiplin ilmunya adalah ilmu tauhid/usuludin/tentang ketuhanan. Pilar ketiga adalah ihsan yang membahas tentang hakikat dari gabungan kedua pilar sebelumnya (islam dan iman) dimana disiplin ilmunya adalah tasawuf.

Ketiga pilar agama islam ini harus dilaksanakan secara menyeluruh, utuh dan tidak setengah-setengah. Allah berfirman: “Ya ayyuhallazi na aamanu udkhulu fissilmi kaaffah wala tattabi’u khutuwatissyaitan innahu lakum aduwwum mubin” (QS: al-bakarah:208) artinya, wahai orang-orang yang beriman, laksanakan olehmu seluruh pola ajaran dan amal islam itu sacara kaffah (menyeluruh). Dan, janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.

Iblis merupakan nama makhluk halus. Sedangkan setan adalah perbuatan keji dari iblis itu. Dalam diri setiap manusia, ada iblis yang membisikkan perbuatan keji. Sehingga kalau manusia itu melaksanakan bisikan iblis tadi maka manusia itu juga bernama setan. Misalnya pelaku perkosaan, pembunuh dan pelaku perampokan. Ajaran tasawuf dengan metode zikir, pasti mampu mengusir dan menghancurkan sarang-sarang iblis dan setan yang ada pada diri manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa tasawuf ada di dalam koridor islam.(**)

Posting Komentar

0 Komentar